Image

Butuh 75 Persen Penduduk Konsumsi Rokok, Syarat untuk Patenkan Produk

05 Jun 2011  |   Berita   |   75 views

Untuk patenkan produk rokok kretek sebagai salah satu kekhasan di Indonesia, tampaknya cukup sulit. Pasalnya salah satu persyaratannya, membutuhkan 75 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia untuk mengkonsumsi rokok tersebut.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jatim, Ir.M.Samsul Arifien, MMA, mengatakan tujuan mematenkan rokok kretek itu cukup bagus. Tapi memerlukan banyak kesiapan yang dianggapnya cukup sulit untuk dilakukan. Salah satu syarat itu juga berlaku sama saat UNESCO menentukan batik sebagai warisan budaya dari Indonesia. Untuk bisa meningkatkan pengguna angsahari seminggu pada Kamis dan Jumat. Upaya itu kiranya dilakukan juga untuk mendukung batik agar lebih diakui dunia. “Batik berbeda dengan rokok kretek. Jika batik, semua lapisan masyarakat tanpa membedakan usia bisa mengenakan batik, tapi untuk rokok kretek, apa bisa masyarakat kita harus mengkonsumsinya? Ini kan tidak semudah itu untuk mematenkan kendati memang rokok kretek adalah warisan budaya leluhur bangsa Indonesia,” katanya.

Rokok kretek adalah rokok yang menggunakan tembakau asli yang dikeringkan, dipadukan dengan saus cengkeh dan saat dihisap terdengar bunyi kretek-kretek. Kisah kretek bermula dari kota Kudus. Tak jelas memang asal-usul yang akurat tentang rokok kretek. Menurut kisah yang hidup di kalangan para pengkerja pabrik rokok, riwayat rokok kretek bermula dari penemuan Haji Djamari pada kurun waktu sekitar akhir abad ke-19. Awalnya, penduduk asli Kudus ini merasa sakit pada bagian dada. Ia lalu mengoleskan minyak cengkeh. Setelah itu sakitnya pun reda. Djamari lantas bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Kala itu melinting rokok sudah menjadi kebiasaan kaum pria. Djamari melakukan modifikasi dengan mencampur cengkeh. Setelah rutin menghisap rokok ciptaannya, Djamari merasa sakitnya hilang. Ia mewartakan penemuan ini pada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan “rokok obat” ini pun mengalir. Djamari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Lantaran ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi “keretek”, maka rokok temuan Djamari ini dikenal dengan “rokok kretek”.

Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat dimana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamari meninggal pada 1890, identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanyan temuannya itu yang terus berkembang. Sepuluh tahun kemudian, penemuan Djamari menjadi dagangan memikat di tangan Nitisemito, perintis industry rokok di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906 dan pada 1908 usahanya resmi terdaftar dengan merek Tjap Bal Tiga. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industry rokok kretek di Indonesia.

Sebelumnya, keinginan agar rokok kretek dipatenkan itu terlontar dari Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia Jatim berharap agar rokok kretek yang merupakan warisan budaya bangsa yang hanya ada dan diproduksi di Indonesia ini bisa segera dipatenkan. Sekjen Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia Jatim, Drs.Wahyu Hidayat, SH mengatakan, bahwa rokok kretek ini adalah warisan leluhur bangsa. Dengan segera dipatenkan, maka diharapkan mampu meningkatkan geliat usaha rokok kretek yang kini masih banyak diproduksi dalam skala kecil (home industry). Menurut Wahyu, jika rokok kretek bisa dipatenkan seperti batik yang diakui UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia, maka dunia juga mengakui kretek juga budaya Indonesia. “Di luar negeri tidak ada produsen rokok kretek yang notabene diproduksi secara manual, karena yang ada hanya industry rokok filter yang menggunakan mesin. Kretek ini hanya adan di Indonesia,” katanya.

Author By : Admin - Butuh 75 Persen Penduduk Konsumsi Rokok, Syarat untuk Patenkan Produk - 05 Jun 2011